Efesus 4: 17-32 part 4


Oleh karena anugerahNya saya diberikan kesempatan untuk kembali menuliskan renungan saya ini. Kiranya dapat menjadi berkat bagi orang banyak.

Pada bagian selanjutnya dari perikop ini, Paulus menyebutkan suatu elemen penting dalam hidup sebagai manusia baru. Paulus mengatakan bahwa kita haruslah marah atau benci dan tidak berdosa. Janganlah kiranya kita menyimpan amarah kita terlalu lama agar kita tidak memberikan kesempatan bagi iblis untuk bekerja melalui amarah kita itu.

Marah adalah salah satu bentuk emosi yang memang sudah ada diciptakan oleh Tuhan sebagai salah satu akibat manusia mewarisi peta dan teladan Allah. Namun seiring dengan jatuhnya manusia dalam dosa, satu sifat ini menjadi alat yang dapat dipakai iblis untuk membuat manusia berdosa. Bukti marah adalah salah satu sifat Allah banyak terlihat di Perjanjian Lama dan juga beberapa kejadian di Perjanjian Baru. Dari situ kita dapat mengetahui bahwa marah seharusnya bukanlah emosi yang berdosa pada asalnya.

Namun seperti yang diungkapkan di atas, marah ini dapat sekali dipakai oleh iblis untuk berdosa dan melawan Allah. Emosi marah yang diutarakan manusia zaman ini hampir semuanya merupakan emosi yang berasal dari iblis: marah karena kemacetan, marah karena ada yang menabrak mobil kita, marah karena orang terlambat datang dan masih banyak yang tidak dapat disebutkan lagi. Semua itu adalah marah yang tidak sesuai dengan amarah Tuhan kita yang SUCI adanya.

Kita tentu haruslah belajar bagaimana bisa marah dengan suci seperti teladan kita Yesus Kristus. Namun dalam bagian ini, Paulus menekankan pada pencegahan daripada memunculkan amarah yang suci tersebut. Untuk mencegah marah kita dipakai iblis lebih jauh untuk melawan Alalh kita, Paulus mengatakan bahwa haruslah kita tidak boleh marah terlalu lama. Semakin lama amarah kita ada, semakin menumpuk kemungkinan kita untuk melawan Tuhan.

Oleh sebab itu, kiranya kita sekalian boleh mengontrol emosi kita dengan bersandar hanya kepada Tuhan saja. Minta kepadaNya untuk boleh mengatur emosi kita.

Comments