Menyatakan Kebenaran dengan Kasih


Pada hari ini tanggal 12 Maret 2013, diadakan sebuah seminar untuk pemuda  dengan judul “Menyatakan Kebenaran dengan Kasih”. Seminar ini diadakan di Ruko Apartment Gloria dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Pembicara kali ini adalah seorang penginjil yang sekaligus adalah filsuf bernama Ev. Yadi S. Lima M. Th. Singkatnya seminar ini membahas ketegangan yang sering terjadi antara menyatakan kasih dan menyatakan kebenaran. Seminar ini begitu dalam dan terdiri dari berbagai aspek, jadi yang dibahas kali ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang paling saya pahami.

Seminar ini dimulai dengan sebuah ilustrasi yang menggambarkan bahwa orang zaman ini sering sekali memisahkan kekristenan menjadi dua ekstrim yang berbeda. Ekstrim pertama adalah Kristen yang menyatakan kasih yang melimpah namun berakhir pada mengkompromikan kebenaran. Ekstrim lainnya adalah Kristen yang menyatakan kebenaran dengan tanpa kompromi sehingga tidak memiliki kasih. Firman Tuhan secara jelas menyatakan kita harus menyatakan kebenaran dan di bagian lain kita harus mengasihi karena itu adalah hukum yang terutama. Lalu bagaimana?

Seminar ini kemudian membawa kita melihat model yang sederhana bagaimana manusia berkomunikasi. Model ini terdiri dari si pengirim pesan, si penerima pesan dan pesan yang disampaikan. Model sederhana ini bekerja baik untuk mesin-mesin yang saling berkomunikasi. Namun manusia bukanlah robot yang berkomunikasi dengan model sesimpel ini. Karena kebenaran yang disampaikan melalui kata-kata kita selalu terkait dengan konteks kalimat itu dikatakan. Sebagai contoh, jika ada seorang A mengatakan B kepada orang C, lalu kemudian seorang D mengatakan B kepada orang C, 2 kasus ini bisa menjadi 2 hal yang sama sekali berbeda. Satu kasus bisa saja berakhir pada doing good, sedangkan yang lain bisa saja berakhir doing evil.

Apa yang membedakan kedua kasus ini? Pesan yang disampaikan sama, namun oleh orang yang berbeda. Bahkan jika disampaikan oleh orang yang sama pun, kedua kasus ini bisa memiliki dua hasil yang sangat berbeda. Yang menjadi perbedaan antara kedua kasus ini adalah konteks kedua percakapan ini terjadi. Secara umum ada 7 hal yang mempengaruhi konteks ini: pengirim pesan, penerima pesan, pesan itu sendiri, referensi pesan tersebut, medium pesan tersebut, cara penyampaian dan yang paling penting adalah situasi pesan itu disampaikan.

Lalu bagaimana seharusnya kita berbicara? Seharusnya kita berbicara dalam model dialogis. Model dialogis berarti model dimana kedua belah pihak berbicara satu sama lain dengan terbuka dan berbicara seperti ini berarti kita harus melepaskan segala pedang, tameng dan baju zirah kita. Jika kita tidak melepaskannya, maka kita tidak akan dapat mendengar dan berbicara dengan jelas satu sama lain. Berbicara disini bukan berbicara untuk menang, namun berbicara untuk lebih mengenal satu sama lain. Kita harus sadar, jika kita ingin menyatakan kebenaran Allah kepada orang lain, kebenaran ini bukan saja soal kita atau saya saja, namun ini miliki kita semua bersama. Oleh sebab itu, yang penting bukanlah kita dapat berargumen dengan hebat dan membungkam lawan bicara kita atau berhasil menyatakan kesalah orang tersebut, namun adalah bagaimana kita bisa saling mengenal satu sama lain dan mengerti kekurangan satu sama lain dan lebih lanjut lagi mensupport satu sama lain untuk pekerjaan Tuhan. Jika diibaratkan, sifat dialogis yang dicari bukanlah seperti permainan pingpong dimana kita berusaha menjadi orang yang mengembalikan bola terakhir ke lawan dan menang, namun sifat yang dicari adalah seperti orang berdansa. Semakin lama pasangan berdansa, maka akan semakin baik dansa itu dan pada akhirnya yang adalah sama-sama menang.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita harus melakukan ini? Karena dalam Kristus kita bukanlah sekadar sekutu(alliance), namun kita adalah sebuah persekutuan (fellowship). Apa perbedaan mendasar dari dua hal ini? Alliance akan bekerja dalam sebuah kelompok dengan kepentingan masing-masing dan kelompok ini digerakkan dengan sebuah tujuan tertentu. Bagi mereka yang melenceng dari tujuan ini akan ditendang keluar. Namun dalam persekutuan, terdapat unsur keluarga dan seperti yang dikatakan Lilo (dalam film Lilo and Stich karya Disney), “Ohana means family, and family means no one gets left behind.” Karena kita adalah satu keluarga dalam Kristus, maka kita harus membantu mereka yang tertinggal. Kita harus saling membangun satu sama lain dan tidak pernah menyerah dan meninggalkan orang yang kurang.

Seminar ini diakhiri dengan pernyataan jika kita sudah melakukan ini, apa kelebihan persekutuan yang semacam ini? Persekutuan ini adalah hal yang dicari dunia dan tidak ada supplier lain yang dapat menghasilkan persekutuan ini selain daripada kekristenan. Hal ini yang membuat kerjaaan Romawi bisa menjadi Katolik dan membuang semua berhala mereka, karena mereka melihat ada yang berbeda dengan orang yang percaya Kristus.

Bagaimana dengan kita? Sebagai umat Tuhan yang hidup di zaman ini, adalah tugas kita untuk “menjual komoditas” yang dimonopoli oleh umat Kristen ke dunia. Namun agar dunia membelinya kita harus terlebih dahulu menghidupinya. Dari sana, orang akan melihat, saksi-saksi Kristus yang hidup dan menyatakan kebenaran bersama kasih pada saat yang bersamaan.

Kiranya hidup kita semua boleh menjadi hidup yang menyatakan kebenaran Allah bersamaan dengan kasihNya juga.

Soli Deo Gloria!


Comments