Satu tahun telah berlalu dan yang baru
datang. Perayaan meriah dilakukan di seluruh bagian dunia ini. Manusia membakar
uang yang tak ternilai dalam bentuk kembang api dan perayaan yang begitu luar biasa
meriah. Begitu banyak orang bersuka ria dijalan-jalan menyongsong datangnya
tahun baru ini. Tanpa disadari, banyak orang juga yang berduka karena
kehilangan orang yang mereka kasihi yang tak diberi kesempatan oleh Tuhan
melewati tahun 2013. Lebih lagi tidak disadari, bahwa tertutupnya tahun 2013
juga merupakan suatu fakta bahwa kita 1 tahun lagi kita lebih mendekat kepada
ajal kita masih-masing.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang
diciptakan Allah yang memiliki sense akan
waktu yang begitu tajam. Ketika manusia memasuki tahun baru, maka manusia
memiliki suatu perasaan ada perbedaan pada pergantian tahun lagi, padahal
jikalau dipikir, sebenarnya tahun baru sama seperti pergantian hari yang
lainnya bukan? Hal ini diresponi dengan berbagai macam bentuk aktifitas mulai
dari berpesta, berkumpul bersama keluarga atau merenungi perjalanan sepanjang
tahun 2013. Bagaimana kita sebagai orang Kristen harusnya beresepon?
Akhir tahun 2013 dipenuhi dengan berbagai
acara yang benar-benar membuka mata saya pribadi. Dimulai dari Konvensi Injil
Nasional(KIN) yang merupakan suatu acara dimana dua ribu lebih hamba Tuhan dan
penginjil-penginjil yang mengabarkan Injil di seluruh Indonesia dikumpulkan
untuk diajarkan doktrin yang benar sehingga kembali berkobar dan dapat kembali
mengabarkan Injil yang sejati di tempat masing-masing. Kemudian diikuti dengan Kebaktian
Pembaruan Iman Nasional(KPIN) yang merupakan seri kebaktian dari seratus kota di
Indonesia dengan panggilan pertobatan. KPIN waktu itu adalah KPIN ke 68 di kota
Jakarta sendiri. Kemudian pada akhir tahun ditutup dengan National Reformed
Evangelical Convention(NREC) yang merupakan acara retret dengan isi sesi penuh
dari pagi sampai malam untuk lebih mengenal pekerjaan Tuhan dalam iman,
pengetahuan dan pelayanan.
Ketiga seri acara tersebut membuka mata saya
akan betapa besar pekerjaan Tuhan yang nyata terjadi di depan mata saya ini. Saya
menyaksikan bagaimana suatu gerakan yang dipimpin seseorang hamba Tuhan dapat
mengumpulkan dua ribu lebih hamba Tuhan dari seluruh Indonesia untuk belajar
Firman, dapat mengundang tiga belas ribu warga Jakarta dan sekitarnya untuk
mendengarkan Firman tanpa kesembuhan atau mujizat-mujizat sebagai kedok dan
terakhir dapat memimpin kebaktian malam hari dalam retret sambil terus
memperhatikan setiap sesi yang berlangsung selama siang harinya. Suatu pekerjaan
Tuhan yang begitu luar biasa yang tidak mungkin manusia saja dapat
melakukannya. Pastilah Tuhan sendiri yang bekerja melalui acara-acara ini.
Namun setelah menyaksikan pekerjaan Tuhan
yang begitu luar biasa timbul pertanyaan dalam diri saya, “Pekerjaan Tuhan
begitu nyata di depan mata saya. Lalu, dimanakah peranan saya? Apakah saya akan
terus tinggal diam dan menyaksikan pekerjaan Allah dari pinggir lapangan di
kemudian hari?” Dari pertanyaan ini, saya terus bergumul dan memikirkan
bagaimana saya tidak hanya menjadi penonton saja, melainkan menjadi seseorang
yang ikut bekerja dalam penggenapan rencana Allah dalam dunia ini.
Saya bukanlah tipe orang yang dengan mudah mengangkat
tangan ketika ada panggilan untuk melayani sebagai hamba Tuhan. Karena saya
memahami, walau tangan yang diangkat berarti kita rela dipakai, namun masih
belum tentu Tuhan mau memakai kita. Di sisi lain, walaupun kita tidak dipanggil
sebagai hamba Tuhan (penginjil dan pendeta), namun kita tetap dituntut untuk
hidup seutuhnya bagi Kristus. Hidup seutuhnya ini benar-benar berarti kita
menyerahkan seluruh hidup kita hanya bagi kemuliaan NamaNya saja. Segala
kenikmatan diri harus kita tinggalkan, menggantinya dengan salib yang Kristus
telah berikan dan mengikut Dia. Menyadari hal ini, saya semakin mengerti
perasaan Yesaya ketika ia mengatakan, “Ini aku, utus aku!” Hal ini bukan
merupakan hal yang mudah terucapkan dengan kesadaran penuh. Karena dengan
mengatakan demikian, Yesaya harus menerima segala sakit hati, pedih dan salah
sangka yang ditentukan Tuhan olehnya untuk dipikulnya nanti. Ketika mengangkat
tangan, itu berarti berarti tidak ada lagi hidup yang santai, hidup yang
dinikmati, hidup yang mengejar keinginan diri; tidak ada lagi hidup semacam
itu. Yang ada hanay hidup yang bagaimana Tuhan dapat memakainya, memerasnya sebagai
alatNya untuk menjadikan kehendakNya di dunia ini.
Kesadaran ini membuat saya terus takut
untuk mengangkat tangan setiap kali ada altar
call pada kebaktian kebangunan roahni yang sebelumnya saya pernah hadiri.
Bahkan pada event NREC pun saya masih sangat takut untuk mengangkat tangan.
Sampai suatu titik, ketika saya berbincang-bincang dengan seseorang pemuda yang
memiliki hati yang begitu murni untuk melayani Tuhan. Dari sana saya terdorong
untuk mengambil keputusan. Setelah saya pikirkan lagi, ketika saya berdoa
meminta kepada Tuhan untuk lebih mengnalNya, lebih mengasihiNya dan lebih taat
kepadaNya, kita sering sekali menjauh dari jawaban Tuhan sendiri. Tuhan sering
sekali menjawab doa kita tanpa kita sadari, dan tanpa kita sadari juga kita
sering menghindari jawaban tersebut. Waktu itu saya terus merenung dengan
intens, mau sampai kapan saya melarikan diri?
Pada akhirnya, saya menyimpulkan, jika
terus direnungkan, maka tidak akan pernah selesai perdebatan antara pro dan
kontra dalam diri kita sendiri. Saya menetapkan, stop berpikir terus, dan
akhirnya saya berdoa dan mengangkat tangan di hadapan Tuhan bahwa saya akan menyerahkan
diri untuk melayani Tuhan saja. Saya tidak tahu saya siap atau tidak, kuat atau
tidak, mampu atau tidak. Namun saya memiliki keyakinan bahwa Tuhanlah yang
menyiapkan, menguatkan dan memampukan saya untuk melayani diriNya. Saya tahu
jalan ke depan tidaklah akan mudah, namun saya percaya bahwa Tuhan yang telah
memimpin hamba-hambaNya yang sejati sepanjang zaman akan memimpin saya juga. Hal
ini juga dengan cepat dilanjutkan dengan konteks pelayanan yang Tuhan tiba-tiba
dorong saya untuk terlibat dan saya juga hampir melarikan diri lagi. Namun
Tuhan begitu ajaib membuat saya tetap memberanikan diri untuk masuk dalam
pelayanan ini.
Sering kali kita meminta kepada Tuhan agar
Dia memimpin hidup kita, memberkati hidup kita atau agar kita lebih
mengasihiNya. Namun tak jarang juga kita melarikan diri dari apa yang Tuhan
jadikan jawaban doa kita. Dari pengalaman ini saya belajar, bahwa Tuhan itu
hidup dan bekerja secara aktif dalam hidup umatNya. Kiranya kita semua boleh
ikut belajar bergumul, akan apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita dan
boleh taat kepada segala tuntunanNya dalam hidup kita. Agar apa yang menjadi
jawabanNya boleh menjadikan kita manusia yang sedikit lebih menyerupai Kristus
Tuhan kita dan boleh membuat hidup kita menjadi persembahan yang harum bagiNya.
Soli Deo Gloria!
Comments
Post a Comment