Pada tahun 2017 saya akhirnya memliki kesempatan untuk menonton sebuah film produksi India berjudul Dangal, Saya sudah mendengar ulasan film ini yang luar biasa baik dari teman-teman saya jauh sebelumnya. Namun akhirnya pada tahun 2017, saya mendapat kesempatan untuk menyaksikannya ketika saya berada di sebuah penerbangan. Setelah saya selesai menontonnya, saya mengingat dengan jelas bahwa air mata saya menitikkan air mata pada akhir film ini. Namun air mata ini bukan semata-mata karena cerita film ini yang begitu mengharukan (tentu cerita film ini mengharukan). Namun karena menonton ini mengingatkan saya akan kotbah dari Dr. Steven J. Lawson pada Impact Bible Conference 2017 yang membahas mengenai surat Ibrani (link). Kisah perjuangan yang digambarkan ini begitu serupa dengan perjalanan hidup seorang Kristen.
Pada surat Ibrani pasal 12, rasul Paulus menggambarkan kehidupan seorang Kristen seperti seorang pelari yang berlari dalam sebuah perlombaan. Sebagian besar dari orang yang membaca ayat ini termasuk saya sulit membayangkan hidup seorang atlit yang bertujuan untuk memenangkan sebuah pertandingan hanya karena faktanya sedikit diantara kita yang memiliki akses ke kehidupan seorang atlit profesional. Film Dangal ini memberikan gambaran pada saya bagaimana hidup seorang atlit yang sejak muda sudah harus mempersiapkan dirinya sedemikian rupa untuk menjadi juara di masa depan. Tentu film ini bukan merupakan film Kristen. Namun kemiripan antara kisah seorang Gheeta dengan perjalanan hidup seorang Kristen begitu nyata.
Film Dangal ini diluncurkan akhir tahun 2016 dengan mengangkat kisah hidup seorang Gheeta Kumari Phogat, seorang atlit gulat wanita dari India. Film ini mengisahkan hidup ayah Gheeta, Mahavir Singh Phogat yang memiliki impian untuk India memenangkan medali emas pada cabang gulat secara internasional. Namun impiannya harus kandas karena kurangnya dukungan dari orang tuanya sendiri. Alhasil dia memilki keinginan yang kokoh agar anaknya akan menjadi orang pertama yang membawakan medali emas di cabang gulat untuk India di arena internasional.
Untuk lebih detail cerita lebih detail saya sangat menyarakan untuk pembaca dapat menontonnya sendiri (film ini tersedia di Netflix). Pada artikel ini saya akan membahas 7 poin dimana film ini begitu mirip dengan perjalanan hidup orang Kristen.
------------------ SPOILER BELOW ------------------
1. Hidup mula-mula sebagai orang Kristen
Cerita ini berawal dengan hidup seorang Mahavir sebagai pegulat yang mendambakan anak laki-laki untuk meraih impian yang tidak dapat ia capai sendiri. Singkat cerita semua anak Mahavir adalah perempuan dan hal ini membuat dirinya mulai menguburkan impiannya. Namun pada suatu hari, dua anak perempuannya Gheeta dan Babita ditemuinya berhasil memukul kalah anak laki-laki. Sejak saat itu Mahavir kembali melihat impiannya mungkin tercapai dan ia mengubah hidup Gheeta dan Babita untuk menjadi pegulat tangguh.
Gheeta dan Babita harus meninggalkan gaya hidup mereka yang santai dan menjaga rumah seperti layakan seorang perempuan India tradisional, dan mengambil rutinitas yang 180 derajat berbeda sebagai seorang atlit. Perubahan kegiatan ini seperti seorang anak kecil yang dipaksa mengikuti cara hidup orang Kristen sebelum mengerti apa itu kekristenan oleh orang tuanya. Gaya hidup yang diajarkan orang tua Kristen kepada anaknya akan berbeda dengan hidup anak-anak lain yang bukan dari keluarga Kristen. Lebih dari itu, sistem nilai yang diajarkan kepada anak juga sangatlah berbeda.
Dalam Ibrani 12:5-7 mengutip Amsal yang menyatakan bahwa seorang anak akan dididik sangat keras oleh ayahnya yang sejati oleh karena kasih. Ketika Rasul Paulus menyatakan didikan yang keras ini, mungkin banyak dari kita yang dapat membayangkan sosok ayah kita yang mendidik kita begitu keras dengan rotan. Namun ketika saya melihat didikan Mahavir kepada Gheeta dan Babita, saya baru mengerti didikan keras yang begitu radikal dalam bentuk lebih nyata. Mereka tidak dididik dengan keras untuk hidup yang masih dalam jalur normal, melainkan hidup yang secara radikal berbeda.
Namun kita tentu dapat memahami bahwa seorang anak yang belum mengerti kenapa mereka melakukan kegiatan yang berbeda dengan anak-anak lain akan tidak menyukai rutinitas ini. Begitu juga Gheeta dan Babita yang sudah muak dengan latihan yang Mahavir berikan ke mereka. Mereka mulai menyeleweng dan meninggalkan latihan yang diberikan ayah mereka sampai suatu titik ketika mereka diam-diam pergi ke pernikahan teman mereka.
2. Pembenaran (Justification)
Pada adegan ketika Gheeta dan Babita berbicara dengan teman mereka yang menikah setelah Mahavir datang dan mengacaukan pesta mereka, di sini lah titik balik mereka. Teman mereka mengatakan bahwa ayah mereka yang mereka benci karena melatih mereka dengan keras justru adalah ayah yang mengasihi dan memperdulikan mereka, bukan seperti ayahnya yang dengan cepat menjodohkan dia dengan orang lain untuk cepat keluar dari rumah. Di sini Gheeta dan Babita menyadari kasih dari ayah mereka yang diwujudkan dalam didikan yang keras yang kembali mengingatkan kita akan Ibrani 5-7 dan ayat 8.
Sejak saat itu, segala latihan yang Mahavir berikan dilakukan Gheeta dan Babita mereka lakukan dengan sukacita tanpa perlu paksaan dari ayah mereka. Hal ini menjadi gambaran langsung yang diserukan oleh pemazmur dalam Mazmur 40:8. Taurat yang sebelumnya menjadi beban bagi hidup, tiba-tiba menjadi kesukaan yang dijalankan dengan senang hati. Hal ini benar-benar menjadi salah satu tanda manusia yang dibenarkan oleh Allah.
Kunci dari 'pembenaran' yang dialami oleh Gheeta dan Babita adalah ketika mereka menyadari bahwa ayah mereka mengasihi mereka walaupun mendidik mereka dengan keras. Hal ini begitu serupa dengan seorang Kristen yang oleh Roh Kudus digerakkan untuk menyadari kasih Allah kepada manusia sehingga Dia mengirimkan Kristus untuk mati bagi kita (Yohanes 3:16) walaupun mungkin hidup kita tidaklah indah sempurna.
3. Penyucian (Sanctification)
Pembenaran bukanlah akhir namun merupakan awal dari perjalanan orang Kristen. Begitu juga dengan perjalanan Gheeta dan Babita menuju medali emas dimulai dari ketika mereka sadar kasih dari Mahavir. Gheeta yang lebih dewasa dilatih Mahavir lebih keras sampai ia membawa Gheeta untuk bertanding dengan laki-laki. Apakah ini hal yang mudah? Tentu tidak. Namun untuk bertumbuh sebagai pegulat, perlu latihan yang terus menerus lebih sulit dan lebih menantang. Terdengar tidak asing?
Perjalanan orang Kristen juga tidak selesai ketika sudah dibenarkan. Pembenaran merupakan awal dari hidup orang Kristen ke arah yang baru; ke arah kesucian seperti Kristus. Ibrani 12:10 menyatakan bahwa Allah menhajar atau mendidik umatNya dengan satu tujuan yaitu agar kita dapat makin serupa suci seperti Dia. Maleakhi pada Maleakhi 3:3 menggambarkan penyucian seperti api yang memurnikan logam dan emas yang sejati butuh api yang sangat panas untuk dimurnikan karena memiliki titik didih yang begitu tinggi.
Perjalanan hidup seorang Kristen seharusnya bukanlah perjalanan yang mulus tanpa tantangan dan cobaan. Justru ketika hidup orang Kristen begitu aman dan damai, Ibrani 12:8 menyatakan bahwa jika hidup kita hidup tanpa disiplin dari Allah, mungkin kita adalah anak yang tidak sah (Terjemahan Baru Indonesia agak membingungkan. ESV menuliskan sebagai illegitimate child).
Perjalanan penyucian ini akan terus berlanjut dan tidak tanpa tantangan. Hidup orang Kristen mungkin akan jatuh bangun dalam proses penyucian ini. Begitu pula dengan perjalanan Gheeta dalam karirnya sebagai pegulat.
4. Titik jatuh kembali
Ketika Gheeta sudah memenangkan pertandingan tingkat nasional, ia melanjutkan karirnya ke arena internasional dengan memasuki kamp pelatihan atlet. Pada pelatihan ini, Gheeta pertama kali terpisah dari ayahnya yang merupakan pelatihnya sejak ia masih kecil. Sebagai gantinya, ia akan dilatih oleh pelatih timnas yang memiliki harga diri yang begitu tinggi. Pelatih ini meminta Gheeta untuk melupakan tehnik-tehnik yang ia dapatkan dari ayahnya. Awalnya Gheeta berusaha melawan. Namun lambat laun, Gheeta akhirnya menurut kepada pelatihnya yang baru ini.
Ditambah lagi, didikan dari Mahavir kepada Gheeta dan Babita begitu ketat sejak mereka belia. Banyak hal yang mereka tidak dapat nikmati jika dibandingkan anak seumur mereka. Pada masa Gheeta di kamp, jauh dari Mahavir, teman-teman satu kamp Gheeta mulai mengajak Gheeta untuk lebih santai dan ikut gaya hidup perempuan seumur mereka pada umumnya. Pada momen ini lah Gheeta mulai jauh dari jalan hidupnya.
Prestasi Gheeta yang begitu gemilang sebelumnya tidak dilanjutkan di arena internasional. Gheeta yang kehilangan disiplin dan berjalan mengikuti kebiasaan teman-temannya dan ajaran dari pelatih tim nasional tidak berhasil mendapatkan kemenangan sama sekali. Buah yang tadinya begitu lebat memasuki musim kemarau.
Bagian cerita ini begitu mirip dengan kehidupan orang Kristen yang terpisah dari tradisi awal dan perlahan ditelan oleh dunia di luar dinding gereja. Banyak cerita yang mengisahkan seorang anak Kristen yang begitu rajin melayani akhirnya jadi hancur ketika pergi ke luar negeri untuk studi lanjut. Hidup yang tadinya begitu dapat dipakai oleh Tuhan untuk melayani orang lain bisa hancur begitu saja karena melupakan disiplin yang diberikan oleh Allah.
Terlebih lagi, tidak hanya gagal berbuah, cerita film ini mengisahkan Gheeta yang justru menantang Mahavir yang sudah tua akan seluruh ajarannya karena Gheeta enggan mengakui bahwa ia yang bersalah. Ini sama seperti kita orang Kristen yang pada masa jatuh ini bukan mengingat kebaikan Allah, melainkan menyalahkanNya atas kejadian yang kita alami dalam hidup. Kita seperti mengacungkan kepalan tinju kita kepada Allah yang sama yang sudah mendidik dan membesarkan kita.
5. Kembali ke jalan yang benar
Gheeta terus menuai kekalahan demi kekalahan sedangkan Babita adiknya akhirnya meraih juara nasional melanjutkan kakaknya pada tahun sebelumnya. Babita kemudian menyusul Gheeta ke kamp nasional tempat Gheeta berada dan dia menjadi sosok yang terus mengingatkan Gheeta akan kesalahannya tidak mengikuti ajaran ayah mereka.
Setelah kalah di berbagai kompetisi internasional, akhirnya Gheeta merasakan hati yang hancur dan atas bujukan Babita memberanikan diri untuk menghubungi ayahnya untuk berdamai dengannya. Adegan ini dipenuhi dengan air mata dan penyesalan yang sangat besar dari Gheeta dan Mahavir sebagai ayah menerima kembali anaknya yang sudah hilang kembali dalam hidupnya lagi.
Kisah ini mirip dengan perumpamaan yang diberikan Tuhan Yesus mengenai anak yang hilang. Gheeta yang sebelumnya telah mengeraskan hati dan pergi dari ayahnya, akhirnya memberanikan diri dan membuang seluruh kebanggaan dirinya untuk kembali mengaku salah dan mengikuti ajarannya lagi. Sikap Mahavir yang menerima pun sangat serupa dengan sikap ayah anak yang hilang tersebut yang dengan sukacita menerima anaknya kembali.
Hidup orang Kristen yang sudah lahir baru tidak kebal terhadap serangan dari dunia ini. Sering kali kita akan jatuh dan tertelan arus dunia di sekitar kita. Kita mungkin saat itu tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran Alkitab yang sudah kita terima sejak kita masih sangat muda. Hidup yang jauh dari Allah dapat dipastikan bukanlah hidup yang berbuah apalagi berkenan bagi Allah. Namun jika kita dengan tulus merendahkan diri dan mengaku dosa kita, surat Yohanes mengatakan bahwa Ia adalah Allah yang setia dan adil (1 Yohanes 1:9). Ia akan seperti ayah anak yang hilang itu, menerima kita kembali dengan tangan yang lebar yang siap memeluk kita kembali. Penerimaan ini menunjukkan kasih setiaNya kepada kita umat manusia yang berdosa.
6. Melihat kepada satu pribadi
Setelah berdamai dengan Mahavir, hidup Gheeta kembali mengikuti jejak sang ayah. Seperti pada Ibrani 12:1, ia menanggalkan seluruh 'dosa' yang menghalangi dia untuk bertumbuh lebih lagi. Sejak saat itu pusat fokus Gheeta hanyalah satu, mengikuti segala instruksi Mahavir. Dalam pertandingannya, ia terus melayangkan pandangannya ke kursi di mana Mahavir duduk dan mendengar setiap teriakan Mahavir yang selalu berlawanan dengan teriakan pelatihnya sendiri.
Fokus Gheeta ini serupa dengan Ibrani 12:2 yang mengajak para pembaca surat ini untuk berfokus hanya kepada Kristus. Ketika kita yang hidup di tengah dunia yang begitu sibuk dan penuh gangguan, sangatlah mudah bagi kita untuk kehilangan arah atau terdisorientasi. Hanya dengan terus memandang pada Yesus sang penyempurna iman kita, kita dapat terus terorientasi dengan benar dalam badai kehidupan. Walau mungkin kita terhempas badai dan tampak keluar dari jalur, memilki kompas yang menuju pada Yesus akan mengorientasikan seluruh hidup kita untuk terus berusaha menjadi serupa dengan Dia.
7. Menyelesaikan pertandingan dengan baik
Setelah melalui pertandingan final dengan kemenangan yang spektakuler, Gheeta akhirnya menjadi pegulat wanita India pertama yang mendapatkan medali emas pada pertandingan internasional. Mahavir yang dikurung dalam ruangan menitikkan air matanya ketika mendengarkan lagu kebangsaan India dikumandangkan sebagai tanda Gheeta meraih medali emas. Mahavir akhirnya dapat keluar dari ruangan ia dikurung dan ia bergegas menuju arena pertandingan di atas untuk bertemu putrinya. Ketika Gheeta yang tengah dalam perjalanan menuju konferensi pers dengan bunga besar yang dihadiahkan kepadanya melihat Mahavir memasuki stadium, ia langsung memberikan bunga di tangannya ke pelatihnya dan lari menghampiri Mahavir. Sesampainya di depan sang ayah, Gheeta melepas medali emas yang terkalung di lehernya dan mempersembahkannya kepada Mahavir. Mahavir menitikkan air mata, tersenyum dan mengatakan hal yang selama ini ditunggu oleh Gheeta, "Aku bangga padamu."
Adegan ini adalah adegan yang membuat emosi saya melupa ketika menyaksikan film ini hingga saya ikut meneteskan air mata. Namun saya meneteskan air mata bukan karena kisah ini pada dirinya, namun ketika membayangkan seorang Kristen yang seluruh hidupnya penuh dengan kesulitan dan tantangan namun terus berjuang untuk memuliakan Allah, akhirnya dipanggil oleh Allah dan dapat bertemu muka dengan muka dengan Yesus di Sorga. Orang Kristen itu menyatakan bahwa seluruh hidupnya sudah dipersembahkan untukNya, Soli Deo Gloria. Dan Yesus tersenyum dan mengatakan, "Kamu telah menyelesaikan perlombaan dengan baik." (2 Timotius 4:7)
Bukankah ini yang seharusnya menjadi tujuan dari semua orang Kristen? Berjuang sekuat tenaga dalam hidup ini untuk satu fokus, yaitu memuliakan Tuhan di tempat yang maha tinggi. Penghiburan yang terbesar yang kita dapatkan adalah bahwa Ia sedang menanti kita di Sorga untuk menyatakan bahwa kita sudah berlari dengan baik dalam dunia ini. Ketika momen itu tiba, seluruh keluh kesah, seluruh air mata dan bahkan mungkin aliran darah dan segala rasa sakit yang kita alami di dunia ini seketika itu juga tampak tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan satu pujian dari Yesus kepada kita. Suatu akhir yang gemliang setelah lomba yang penuh dengan kesulitan di dunia ini.
Kesimpulan Akhir
Film Dangal ini adalah sebuah film yang sangat berkesan bagi saya, terutama dari bagaimana film ini memberikan gambar yang tajam mengenai perjalanan hidup seorang atlet yang begitu serupa dengan perjalanan hidup seorang Kristen. Tentu cerita ini bukanlah cerita mengenai orang Kristen ataupun ingin menyampaikan nilai-nilai kekristenan. Namun ketika Rasul Paulus mengambil analogi pelari dalam surat Ibrani, hal tersebut menjadi sangat masuk diakal setelah menonton film ini karena begitu miripnya jalan hidup sebagai atlet dan sebagai orang Kristen.
Melalui film ini juga saya pribadi mendapatkan banyak pelajaran dan peringatan kembali akan bagaimana saya sebagai orang Kristen harus hidup. Mulai dari radikalnya perbedaan hidup seorang Kristen dengan hidup orang dunia, bagaimana taurat menjadi kesenangan dalam hidup, perjuangan terus hidup suci, kesetiaan Tuhan yang menerima kita yang hancur, sampai bagaimana kita mempersembahkan seluruh hidup kita dalam tanganNya dan harapan akan pengakuan dari satu pribadi yang benar-benar berarti.Film ini menjadi cermin yang nyata menggambarkan perjuangan dalam hidup yang harus saya teladani. Hidup yang harus lebih berjuang, lebih berkorban, lebih mematikan diri dan lebih sadar, bahwa semua disiplin Allah melalui segala cobaan dalam hidup saya merupakan usahaNya untuk menguduskan diri kita agar dapat berbuah lebih.
Sering kali dalam hidup kita gagal menyadari hal-hal ini yang membuat diri kita jadi cenderung mengeluh ke Tuhan. Kita gagal melihat pembentukan Tuhan dan topanganNya dalam cobaan-cobaan dalam hidup kita. Film ini kembali mengingatkan agar pada masa-masa sulit, janganlah kita meninggalkan Allah, terlebih lagi melawanNya. Namun kita harus terus bergantung padaNya serta memfokuskan pandangan kita hanya kepada Kristus.
Saya berharap, orang-orang Kristen yang menonton film ini dapat ikut menjadikan film ini sebagai cermin bagi hidup mereka masing-masing untuk terus dapat mengecek apakah diri saya sudah berlari dengan baik. Semua ini demi pada akhirnya ketika kita berjumpa dengan Kristus muka dengan muka di Sorga, Ia tersenyum dan mengatakan, "Kamu sudah berlari dengan baik."
Comments
Post a Comment